BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Perjalanan
hidup seorang anak tidak selamanya berjalan dengan mulus. Beberapa anak
dihadapkan pada pilihan yang sulit bahwa individu harus berpisah dari keluarga
karena suatu alasan, menjadi yatim, piatu atau yatim-piatu bahkan mungkin
menjadi anak terlantar. Kondisi ini menyebabkan adanya ketidak lengkapan di
dalam suatu keluarga. Ketidak lengkapan ini pada kenyataanya secara fisik tidak
mungkin lagi dapat digantikan tetapi secara psikologis dapat dilakukan dengan
diciptakannya situasi kekeluargaan dan hadirnya tokoh-tokoh yang dapat berfungsi
sebagai pengganti orang tua.
Menurut Hurlock (1997:213) masa remaja dikatakan sebagai masa transisi
karena belum mempunyai pegangan, sementara kepribadianya masih menglami suatu
perkembangan, remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisiknya.
Remaja masih labil dan mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Remaja
sebagai bagian dari generasi penerus yang menjadi tonggak sebagai individu yang
bermakna pada hari kemudian diharapkan juga memiliki pemahaman tentang diri
yang benar, hal tersebut sangat diperlukan bagi setiap orang dalam menjalani
kehidupannya, sehingga di peroleh suatu gambaran yang jelas tentang dirinya dan
supaya sremaja bias menjalankan apa yang sudah didapatkannya.
Pemahaman
akan diri seseorang sangatlah mutlak untuk diketahui. Oleh karena itu semua
orang harus mengerti tentang dirinya. Baik secara internal maupun secara
eksternal. Ketika seseorang mengetahui kondisi dan gambaran tentang dirinya
maka dia akan dapat menjalani hidupnya dengan nyaman dan juga memiliki rasa
percaya diri yang kuat karena sudah memiliki pandangan diri yang jelas.
Dalam
melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan, semua orang memiliki kemampuan dan
keinginan yang berbeda. Salah satu faktor yang membuat seseorang dapat
melakukan apa yang dia ingin lakukan adalah ketika dia memiliki kepercayaan
diri yang cukup untuk melakukannya. Ketika seseorang kurang memeiliki rasa
percaya diri maka kemungkinan orang tersebut tidak akan dapat bergaul dengan
sesama temannya, melakukan apa yang diinginkannya dan pergi sesuai
keinginannya.
Remaja
yang tinggal di panti asuhan mempunyai rasa rendah diri atau minder terhadap
keadaan dirinya, tidak seperti teman-teman dalam kondisi keluarga normal. Hal
ini berpengaruh terhadap pergaulan dengan lingkungan. Sementara itu masyarakat
atau teman-teman dalam lingkungan sosial sering memberikan label negatif pada
anak-anak panti asuhan tanpa melihat lebih jauh, mengapa atau bagaimana
berbagai hal negatif ini akan terjadi. Adanya penyimpangan antara harapan dan
kenyataan itulah, maka peneliti merasa perlu untuk meneliti hal tersebut.
Berdasarkan
dari uraian di atas, maka rumusan masalah yang peneliti ajukan adalah apakah
ada hubungan antara pemahaman diri dengan rasa percaya diri pada remaja yang
tinggal di panti asuhan. Oleh karena itu maka penelitian ini berjudul “Hubungan
Antara pemahaman diri dengan rasa percaya diri Pada Remaja Yang Tinggal Di
Panti Asuhan”.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas, maka yang
menjadi rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui hubungan antara pemahaman diri dengan rasa percaya diri remaja
yang tinggal di panti asuhan ?
2. Mengetahui pemahaman diri dengan rasa percaya diri remaja yang tinggal di
panti asuhan ?
3. Mengetahui tingkat pemahaman diri dengan rasa percaya diri remaja yang
tinggal di panti asuhan ?
1.3. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan akan
memberikan manfaat dan kegunaan sebagai berikut:
1.
Manfaat teoritis : Dapat menambah
wawasan pengetahuan mengenai pemahaman diri dan rasa percaya diri yang ada pada
masa remaja.
2.
Manfaat praktis : Diharapkan hasil
penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan pendidik, guru,dan orang –
orang yang berhubungan dengan panti asuhan dan anak anak asuhnya.
BAB II
KAJIAN PENELITIAN
2.1. Landasan
Teori
2.1.1. Pemahaman Diri (Self-Understanding)
Menurut Santrock (2003:333) Pemahaman diri (self – Understanding) adalah
gambaran kognitif remaja mengenai dirinya, dasar, dan isi dari konsep diri
remaja. Pemahaman diri menjadi lebih introspektif tetapi tidak bersifat
menyeluruh dalam diri remaja, namun lebih merupakan konstruksi kognisi
sosialnya. Pada masa remaja persinggungan antara pengalaman sosial, budaya dan
norma yang berlaku mempengaruhi pada kognisi sosial remaja.
2.1.2. Percaya Diri (Self-Esteem)
Orang
yang dikatakan memiliki kepercayaan diri ialah orang yang merasa puas dengan
dirinya (Gael Lindenfield dalam Kamil, 1998: 3). Adapun gambaran merasa puas
terhadap dirinya adalah orang yang merasa mengetahui dan mengakui terhadap
ketrampilan dan kemampuan yang dimilikinya, serta mampu menunjukkan
keberhasilan yang dicapai dalam kehidupan bersosial.
Ciri-ciri Orang Yang Percaya Diri
Menurut Hakim (2005: 5-6) ciri-ciri
orang yang percaya diri antara lain :
1. Selalu bersikap tenang di dalam
mengerjakan segala sesuatu;
2. Mempunyai potensi dan kemampuan yang
memadai;
3. Mampu menetralisasi ketegangan yang
muncul di dalam berbagai situasi;
4. Mampu menyesuaikan diri dan
berkomunikasi di berbagai situasi;
5. Memiliki kondisi mental dan fisik
yang cukup menunjang penampilannya;
6. Memiliki kecerdasan yang cukup;
7. Memiliki tingkat pendidikan formal
yang cukup;
8. Memiliki keahlian atau
keterampilan lain yang menunjang kehidupannya, misalnya ketrampilan berbahasa
asing;
9. Memiliki kemampuan bersosialisasi;
10. Memiliki
latar belakang pendidikan keluarga yang baik;
11. Memiliki
pengalaman hidup yang menempa mentalnya menjadi kuat dan tahan di dalam
menghadapi berbagai cobaan hidup;
12. Selalu
bereaksi positif di dalam menghadapi berbagai masalah, misalnya dengan tetap
tegar, sabar, dan tabah dalam menghadapi persoalan hidup.
Ciri-ciri
Orang Yang Tidak Percaya Diri
Menurut Hakim (2005: 8-9) ciri-ciri
orang yang tidak percaya diri antara lain :
1. Mudah
cemas dalam menghadapi persoalan dengan tingkat kesulitan tertentu;
2. Memiliki
kelemahan atau kekurangan dari segi mental, fisik, sosial, atau ekonomi;
3. Sulit
menetralisasi timbulnya ketegangan di dalam suatu situasi;
4. Gugup
dan kadang-kadang bicara gagap;
5. Memiliki
latar belakang pendidikan keluarga kurang baik;
6. Memiliki
perkembangan yang kurang baik sejak masa kecil;
7. Kurang
memiliki kelebihan pada bidang tertentu dan tidak tahu bagaimana cara
mengembangkan diri untuk memiliki kelebihan tertentu;
8. Sering
menyendiri dari kelompok yang dianggapnya lebih dari dirinya;
9. Mudah
putus asa;
10. Cenderung
tergantung pada orang lain dalam mengatasi masalah;
11. Pernah
mengalami trauma;
12. Sering
bereaksi negatif dalam menghadapi masalah, misalnya dengan menghindari tanggung
jawab atau mengisolasi diri, yang menyebabkan rasa tidak percaya dirinya
semakin buruk.
2.2. DEFINISI OPERASIONAL
Pemahaman diri (self –
Understanding) adalah
gambaran kognitif remaja mengenai dirinya, dasar, dan isi dari konsep diri
remaja dan lebih merupakan konstruksi kognisi sosialnya.
kepercayaan
diri adalah kesadaran individu akan kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya,
meyakini adanya rasa percaya dalam dirinya, merasa puas terhadap dirinya baik
yang bersifat batiniah maupun jasmaniah.
2.3. Hipotesis
Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari hipotesis dua arah yaitu Hipotesis alternative dan
hipotesis Nol. Hipotesis benar jika Hipotesis alternative (Ha) terbukti
kebenarannya.
Ha : adanya hubungan antara pemahaman diri dengan rasa
percaya diri remaja yang tinggal di panti asuhan
Ho : Tidak ada hubungan antara pemahaman diri dengan
rasa percaya diri remaja yang tinggal di panti asuhan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah beberapa
panti asuhan yang berada di Kecamatan Lowokwaru kota Malang yang akan dipilih
secara acak yang mewakili dari kota Malang.
3.2. Rancangan Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, penelitian ini diklasifikasikan dala penelitian
kuantitatif deskriptif korelatif dimana penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai
variable yang timbul dimasyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan
apa yang terjadi dan mencari hubungan antar variable yang diteliti.
(Bungin,2006:36)
3.3. Teknik Pengumpulan Data
3.3.1. Observasi
Dalam
menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya
dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrument. Format yang disusun
berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan
terjadi.
3.3.2. Dokumentasi
Metode
dokumentasi dilakukan dengan cara mencari data tentang hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, agenda dan sebagainya.
3.3.3. Wawancara
Adalah
percakapan dengan maksud tertentu percakapan itu dilakukan oleh dua pihak,
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
(Moleong, 2000 : 135).
3.3.4. Angket
Metode
angket adalah salah satu metode penelitian dengan menggunakan daftar pertanyaan
yang berisi aspek yang hendak diukur, yang harus dijawab atau dikerjakan oleh
subyek penelitian, berdasarkan atas jawaban atau isian itu peneliti mengambil
kesimpulan mengenai subyek yang diteliti (Suryabrata, 1990).
3.3.5. Teknik Analisis Data
Karena
penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, maka metode analisisi data
yang digunakan adalah alat analisis yang bersifat kuantitatif yaitu model
statistik. Hasil analisis nantinya akan disajikan dalam bentuk angka-angka yang
kemudian dijelaskan dan diiterpretasikan dalam suatu uraian.
Sumber :